BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Suhu lingkungan menentukan
suhu bagi hewan poikiloterm. Bahkan suhu menjadi fator pembatas bagi kebanyahan
makhluk hidup. Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang membantu
metabolisme di dalam tubuh. Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan
suhu lingkungan bagi hewan-hewan eksoterm iak hanya berkaitan dengan
akifitasnya saja tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya
(Dharmawan, tt).
Avertebrata pada umumnya tidak
mampu mengatur suhu tubuhnya, sehingga suhu tubuhnya sangat tergantung kepada
lingkungannya. Pada vertebrata mekanisme pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
berjalan dengan baik. Suhu tubuh diatur dengan cara menyeimbangkan antara
produksi panas dengan kehilangan panas. Terkecuali reptilia, amfibia (katak)
dan ikan, mekanisme termoregulasi tidak berkembang. Binatang ini disebut
binatang berdarah dingin (poikioterm) oleh karena itu suhu badan berubah-ubah
sesuai perubahan suhu lingkungan (dalam kisaran tertentu). Dengan demikian kelompok
hewan poikioterm bersifat conformer.
BACA SELENGKAPNYA KLIK http://adf.ly/Pd4LN
BACA SELENGKAPNYA KLIK http://adf.ly/Pd4LN
Pada burung dan mamalia (manusia), mahkluk
berdarah panas (homoiterm) memiliki sekelompok reflek respon, yang terutama
terpadu di hipotalamus, yang bekerja untuk mempertahankan suhu badan dalam
kisaran sempit walaupun ada perubahan besar pada suhu lingkungannya. Dengan
demikian kelompok hewan homoiterm bersifat regulator (Susilowati, 2006).
1.2
Rumusan masalah
- Bagaimanakah pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh pada hewan homoioterm dan poikiloterm
1.3
Tujuan
- untuk mengetahui pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh pada hewan homoioterm dan poikiloterm?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Termoregulasi
Menurut Campbell (2004). Termoregulasi adalah pemeliharaan suhu tubuh di dalam suhu kisaran
yang membuat sel-sel mampu berfungsi secara efisien. Sebagian besar hewan dapat
bertahan hidup menghadapi fruktuasi lingkungan eksternal yang lebih ekstrim
dibandingkan dengan keadaan yang sangat ditolerir oleh setiap individu selnya.
Meskipun spesies hewan yang berbeda telah diadaptasikan terhadap kisaran suhu
yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai kisaran suhu yang optimum. Didalam
kisaran tersebut banyak hewan dapat
mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya berfruktuasi.
suhu
merupakan salah satu faktor pembats penyebaran hewan, dan selanjutnya menentukan aktifitas hewan. Banyak hewan yang
suhu tubuhnya disesuaikan dengan suhu lingkungan, kelompok hewan ini disebut
hewan ”berdarah dingin” atau poikioterm atau koniomer suhu (termokonformer).
Poikiotermik berrarti suhu berubah (labil). Sebetulnya suhu tubuh tidak
betul-betul sama dengan lingkungan, sebab kalau diukur dengan teliti, suhu
selnya sedikit di atas suhu lingkungannya.Lebih sedikit hewan yang
mempertahankan suhu tubuhnya, kelompok hewan ini disebut hewan ”berdarah panas”
atau homeotermik atau regulator suhu (termoregulator). Yaitu kelompok hewan
yang mengatur suhu tubuh secara parsial, yaitu bahwa regulasinya terbatas pada
bagian tubuh tertentu (Soewolo, 2000).
Strategi
untuk mengurangi laju metabolisme dan temperature badan akibat udara dingin
harus dilakukan hewan untuk mengatur pengurangan temperature badan karena
perbuatan temperature. Banyak binatang yang mempertahankan dingin dan sangat
dingin melalui gerakan yang lambat (Sukarsono, 2009).
2.2 Pengaturan Suhu Tubuh
Menurut Campbell(2004). Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu lingkungan internal
seekor hewan. Sebagai contoh, laju respirasi seluler meningkat seiring
peningkatan suhu sampai titik tertentu dan kemudian menurun ketika suhu itu
sudah cukup tinggi sehingga mulai mendenaturasi enzim. Sifat-sifat membran juga
berubah dengan perubahan suhu. Seekor hewan endotermik memanaskan tubuhnya
terutama dengan cara menyerap panas dari sekelilingnya. Jumlah panas ini diperoleh
dari metabolismenya sendiri umumnya dapat diabaikan, sebaliknya seekor hewan
endotermik mendapatkan sebagian besar atau semua panas tubuhnya dari
metabolisme tubuhnya sendiri.
Hal ini juga sesuai dengan Hukum Toleransi Shelford yang berbunyi ”
bahwa setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis, yang
merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organism itu
terhadap kondisi faktor lingkungannya”. Apabila organisme terdedah pada suatu
kondisi faktor lingkungan yang mendekati batas kisaran toleransinya, maka
organisme akan mengalami keadaan kecaman stress fisiologis. Dengan perkataan
lain organisme berada dalam kondisi kritis berupa hipotermia suhu rendah,
sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala hipertermia. Apabila
kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu
berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan itu akan
mati (Dharmawan, tt).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum tentang termoregulasi pada homoioterm
(manusia) dan poikiloterm (katak) ini dilaksanakan pada hari jum’at tanggal 4 juni 2009, yang bertempat di laboratorium
UIN-Malang.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini
adalah sebagai berikut:
1. Bejana 400 cc yang
masing-masing diisi air (suhu kamar) dan air hangat 400c.
2. Batang kayu untuk mengikat
katak
3. Tali pengikat (rafia)
4. Termometer badan manusia
5. Termometer biasa
6. Jam tangan
7. Kompor listrik
8. Panci kecil
3.2.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada
praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Air
2. Es batu
3. Manusia (probandus)
4. Katak (probandus)
3.3 Cara Kerja
Adapun langkah-langkang kerja yang dilakukan dalam
oraktikum ini adalah sebagai berikut:
A. Mengukur Suhu Katak
- Mengukur suhu air (pada suhu kamar) didalam bejana dulu.
- Mengikat katak pada bagian bawah kayu kemudian memasukkan kedalam bejana yang berisi air.
- Memasukkan termometer kedalam mulutnya sedalam mungkin.
- Mencatat suhu badan katak sebelum dimasukkan kedalam air dan mencatat suhu badan setiap 2 menit.
- Mengulangi percobaan tersebut dengan memasukkan katak kedalam air es serta air hangat 350C dan memperhatikan perubahan suhu badan setiap 2 menit.
B. Mengukur Suhu Badan Pada Manusia
- Mengukur didalam kamar percobaan. Hanya dilakukan satu pengukuran saja pada satu probandus.
- Mengukur suhu badan dari bawah lidah selama 5 menit.
- Mengukur lagi suhu badan dibawah lidah setelah berkumur dengan air es selama 1 menit.
- Selanjutnya berkumur lagi dengan air hangat selama 1 menit dan mengukur lagi suhunya
- Mengulangi percobaan diatas dengan bernafas melalui mulut.
- Membuat grafik hubungan antara perubahan suhu lingkungan dengan perubahan suhu tubuh hasil percobaan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
adapun
hasil yang diperoleh setelah melakukan praktikum ini adalah sebagai berikut:
Pada katak
Perlakuan
|
Perubahan suhu katak menit ke
|
|||||
0
|
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
|
Air biasa (270C)
|
260C
|
260C
|
26,50C
|
260C
|
260C
|
260C
|
Air hangat (360C)
|
260C
|
310C
|
32,20C
|
330C
|
33,50C
|
33,50C
|
Air dingin (120C)
|
300C
|
260C
|
240C
|
220C
|
210C
|
210C
|
Pada Manusia
Perlakuan
|
Perubahan suhu dengan pernafasan
|
|
Mulut
|
Hidung
|
|
Tidak berkumur
|
36,40C
|
36,40C
|
Berkumur air hangat (430C)
|
36,70C
|
36,80C
|
Berkumur air dingin (90C)
|
350C
|
35,40C
|
4.2 PEMBAHASAN
Suhu merupakan salah saru faktor pembatas
penyebaran hewan, dan selanjutnya menentukan aktivasi hewan. Rentangan suhu
dibumi jauh lebih besar dibandingkan
dengan rentangan penyebaran aktivitas
hidup. Suhu udara dibumi tergantung dari -700C-+850C.
Secara umum aktivitas kehidupan terjadi antara rentangan sekitar 00-400C.
Kebanyakan hewan hidup dalam rentangan suhu yang lebih sempit. Beberapa hewan
dapat bertahan hidup tetapi tidak aktif di bawah 00C, dan beberapa
tahan terhadap suhu sangat dingin. Perlu diketahui tidak ada hewan yang mampu
bertahan hidup di atas suhu 500C, dan sedikit bakteri dan alga aktif
dalam sumber air panas dengan suhu 700C. Batas-batas untuk
reproduksi lebih sempit dari pada suhu hewan dewasa bertahan hidup, tetapi
embrio kebanyakan homoeterm lebih tahan terhadap rentangan suhu yang lebih
lebar dari pada yang dewasa(Soewolo, 2000).
Hewan
ektotermik maupun endotermik mengtur suhu tubuhnya dengan menggunakan beberapa
kombinasi dari empat kategori umum adaptasi:
a) penyesuaian
laju pertukaran panas antara hewan dan sekelilingnya. Insulin, seperti rambut, bulu, dan lemak yang
terletak persis dibawah kulit, mengurangi kehingan panas dari tubuh hewan.
Mekanisme lain yang mengatur pertukaran panas umumnya melibatkan adaptasi
sistem sirkulasi. Jenis adaptasi lain yang mengatur pertukaran panas adalah
suatu pertukaran arteri dan vena yang disebut sebagai penukar panas lawan-arus. Penukaran ini sangat penting dalam
pengontrolan hilangnya panas dari anggota tubuhnya. Pengaturan ini memudahkan
pemindahan panas dari arteri ke vena di espanjang pembuluh darah tersebut. Pada
beberapa spesies, darah dapat memasuki tungkai baik melui penukar panas atau
melalui pembuluh yang dialihkan di sekitar panas itu. Jumlah relatif darah yang
yang memasuki tungkai melalui kedua jalur yang berbeda itu sungguh bervariasi,
sehingga mengatur laju kehingan panas.
b) pendinginan melalui kehingan panas
evaporatif. Hewan endotermik dan
ektotermik terrestrial kehilangan air
melalui pernafasanya dan melalui kulit. Jika kelembapan udara cukup rendah, air
akan menguap dan hewan akan kehilangan panas dengan cara pendingan melalui
evaporasi. Evaporasi dari sistem respirasi dapat ditingkatkan dengan cara panting (menjulurkan lidah keluar).
Pendingan melalui evaporasi pada kulit dapat ditingkatkan dengan cara berendam
atau berkeringat.
c) respon
perilaku. Banyak hewan
dapat meningkatkan atau menurunkan hilangnya panas tubuh dengan cara berpindah
tempat. Mereka akan berjemur di bawah terik matahari atau pada batu panas
selama musim dingin; menemukan tempat sejuk dan lembab atau masuk ke dalam
lubang didalam tanah pada musim panas; atau bahkan bermikgrasi ke lingkungan
jyang lebih sesuai.
d) pengubahan
laju produksi panas metabolik. Kategori keempat adaptasi termoregulasi ini hanya berlaku bagi hewan
endotermik. Khususnya mamalia dan unggas. Banyak spesies mamalia dan unggas
dapat melipat gandakan produksi panas metaboliknya sebanyak dua atau tiga kali
lipat ketika terpapar keadaan dingin (Campbell, 2004).
Menurut kramadibrata (1995). Sebagai
organisme yang bersifat heterotof , maka hewan selalu menggantungkan pada
organisme-organisme lain, baik yang berupa tumbuhan, jenis hewan lain ataupun
materi organuk produk organisme-organisme itu. Karena itu maka masalah Habitat
secara umum pada hewan-hewan merupakan masalah interaksi spesies. Untuk
mendapatkan dan memanfaatkan makan dari lingkungan tempat hidupnya. Setiap
hewan sudah dilengkapi dengan beraneka adaptasi fisiologi, struktural dan
perilaku tertentu. Masalah kehadiran suatu populasi hewan disuatu tempat dan
penyebaran (distribusi) spesis hewan tersebut dimuka bumi ini selalu berkaitan
dengan masalah habitat dan relung ekologinya.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 kesimpulan
Dari hasil hasil praktikum yang telah dilakukan,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a) Hewan poikioterm (katak) mendapatkan
sebagian besar panas tubuhnya dari sekelilingnya
b) Pada mamalia (manusia) mendapatkan panas
tubuhnya terutama dari metabolisme dan menggunakan energi metabolisme untuk
mekanisme pemanasan dan pendinginan yang mempertahankan suhu tubuh relatif
konstan.
DAFTAR PUTAKA
Campbell, reece. 2000. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: erlangga
Dharmawan, Agus. tanpa tahun. Ekologi Hewan. Malang: UM Press
Soewolo. 2000. Pengantar
Fisiologi Hewan. Jakarta: proyek pengembangan guru sekolah menengah IBRD
Loan No. 3979.
Susilowati, retno. 2006. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. UIN Malang
Sukarsono. 2009. Ekologi Hewan. Malang: UMM Press
0 comments:
Post a Comment