BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Organisme multiseluler mempunyai totepotensi
yaitu kemampuan sel untuk memperbanyak diri dan membentuk organisme lengkap.
Kondisi ini akan terjadi jika sel tersebut ditumbuhkan pada lingkungan yang
sama kondisinya dengan lingkungan aslinya. Dengan konsep ini maka membuka
pemikiran kita bahwa jika kita menggunakan sedikit dari bagian tanaman dan jika
kemudian bahan tersebut ditumbuhkan pada media yang sesuai maka akan membentuk
organisme tanaman yang lengkap. Teknik yang digunakan untuk menghasilkan
tanaman baru seperti tersebut di atas adalah teknik kultur jaringan. Dengan
teknik ini akan didapatkan tanaman dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu
yang singkat (Holil, 2009).
Faktor yang menunjang keberhasilan dalam
teknik kultur jaringan adalah tahap preparasi yang terdiri dari persiapan alat
dan bahan yang akan digunakan serta pada pembuatan media. Media kultur jaringan
terdiri dari campuran garam-garam anorganik (garam mineral), gula, vitamin,
asam amino, zat pengatur tumbuh, air serta bahan pemadat, sedangkan untuk
tujuan tertentu seringkali ditambahakan arang aktif (Holil, 2009).
Pada praktikum ini, kita akan mempelajari
tentang tatacara kultur daun dan akar tanaman anggrek dan kultur hipokotil kedelai.
Semoga dengan adanya praktikum tentang kultur jaringan ini dapat memahami
pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam rangka perbanyakan tanaman secara
cepat dan efisien.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan
masalah yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1.
Apa saja alat, bahan, dan media yang
perlu dipersiapkan dalam teknik kultur jaringan tanaman?
2.
Bagaimana teknik dan perhitungan dalam
pembuatan media dalam teknik kultur jaringan tanaman?
3.
Bagaimana kultur daun dan akar anggrek?
4.
Bagaimana kultur hipokotil kedelai?
1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu :
1.
Untuk mengetahui alat, bahan, dan media
apa yang perlu dipersiapkan dalam teknik kultur jaringan tanaman.
2.
Untuk mengetahui teknik dan perhitungan
dalam pembuatan media dalam teknik kultur jaringan tanaman.
3.
Untuk mengetahui kultur daun dan akar
anggrek.
4.
Untuk mengetahui kultur hipokotil
kedelai.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teknik Kultur
Jaringan
Kultur
jaringan tanaman adalah suatu teknik isolasi bagian-bagian tanaman, seperti
jaringan, organ, atau embrio, lalu dikultur pada medium buatan yang steril
sehingga bagian-bagian tanaman tersebut mampu beregenerasi dan berdiferensiasi
menjadi tanaman lengkap (Winata, 1987). Hartman et al (1990) menambahkan
bahwa jaringan yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan tanaman
adalah kalus, sel, dan protoplas, sedangkan organ tanamannya meliputi pucuk,
bunga, daun dan akar.
Kultur
jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur
jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian
tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut
dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh
dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat
memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari
teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian
vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril
(Af’idah, 2009).
Metode
kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya
untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang
dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain:
mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah
yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu
menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan
mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan
perbanyakan konvensional (Af’idah, 2009).
Teknik
kultur jaringan tanaman memiliki prospek yang lebih baik dari pada metode
perbanyakan tanaman secara vegetatif konvensional dikarenakan
keuntungan-keuntungan berikut : (a) jutaan klon dapat dihasilkan dalam waktu
setahun hanya dari sejumlah kecil materi awal. Dengan metode vegetatif konvensional
dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah yang
sama dan jumlah bahan awal yang diperlukan pun lebih besar. (b) teknik kultur
jaringan menawarkan suatu alternatif bagi spesies-spesies yang resisten
terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan melakukan manipulasi terhadap
faktor-faktor lingkungan, termasuk penggunaan zat pengatur tumbuh. (c) kemungkinan
untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat internasional. Apabila
ditangani secara hati-hati, status aseptik dari bahan tanaman mengurangi kemungkinan
bagi introduksi atau penyebaran penyakit tanaman. (d) teknik kultur jaringan
tidak tergantung pada musim. Stok tanaman dapat segera diperbanyak pada
sembarang waktu setelah pengiriman atau penyimpanan (Hu dan Wang, 1983) Karena
semua proses dilakukan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali di
laboratorium atau rumah kaca
(Zulkarnain, 2009).
Berbeda
dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur jaringan melibatkan
pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat pengendalian yang tinggi dalam
memacu proses regenerasi dan perkembangan jaringan. Setiap urutan proses dapat
dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman, medium kultur dan faktor-faktor
lingkungan, termasuk eliminasi mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Semua
itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk akhir dalam bentuk kuantitas dan
kualitas propagula berdasarkan prinsip totipotensi sel (Hartmann et al,
1990).
2.2
Tahapan-tahapan dalam Teknik Kultur Jaringan
Menurut
Af’idah (2009), bahwa beberapa tahapan yang dilakukan dalam teknik kultur
jaringan yaitu : sterilisasi, pembuatan media, inisiasi, multiplikasi, pengakaran
kemudian aklimatisasi.
Sterilisasi
merupakan kegiatan untuk mensterilkan semua peralatan dan bahan yang akan
digunakan dalam kultur jaringan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya
mikroba kontaminan yang dapat menyebabkan kerusakan pada kultur (Amalia, 2009).
Pembuatan
media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan
diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin,
dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar,
gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga
bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, bergantung dengan tujuan dari
kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada
tabung reaksi atau botol-botol kaca kemudian disterilkan dengan menggunakan
autoklaf (Af’idah, 2009).
Amalia (2009), menyatakan bahwa inisiasi adalah
pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman
yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas atau daun.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon
tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar
flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya
pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan
pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar (Af’idah,
2009).
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan
menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan
yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap
hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya
kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan
menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau
busuk (disebabkan bakteri) (Af’idah, 2009).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan
keluar dari ruangan aseptic ke bedeng (tempat). Pemindahan dilakukan secara
hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan
untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit
hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara
luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara
bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang
sama dengan pemeliharaan bibit generatif (Af’idah, 2009).
2.3 Kultur Kalus
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif
menggunakan teknik kultur in-vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel.
Jika suatu eksplan ditanam pada medium padat atau dalam medium cair yang
sesuai, dalam waktu 2 – 4 minggu, bergantung pada spesiesnya, akan terbentuk
massa kalus yaitu suatu massa amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim
berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil proliferasi sel-sel jaringan
induk. Kalus dapat disub-kultur dengan cara mengambil sebagian kalus dan
memindahkannya pada medium baru. Dengan system induksi yang tepat kalus dapat
berkembang menjadi tanaman yang utuh (plantlet) (Yuwono, 2006).
Kultur kalus merupakan pemeliharaan bagian
kecil tanaman dalam lingkungan buatan yang steril dan kondisi yang terkontrol
(Pauls, 1995 dalam Kulkarni, 2000). Kalus adalah jaringan yang berproliferasi
secara terus menerus dan tidak terorganisasi sehingga memberikan penampilan
sebagai massa sel yang bentuknya tidak teratur (Af’idah, 2009).
Kultur kalus dapat dikembangkan dengan
menggunakan eksplan yang berasal dari berbagai sumber, misalnya tunas muda,
daun, ujung akar, buah dan bagian bunga. Kallus dihasilkan dari lapisan luar
sel-sel korteks pada eksplan melalui pembelahan sel berulang-ulang. Kultur
kalus tumbuh berkembang lebih lambat disbanding kultur yang berasal dari
suspensi sel. Kalus terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu induksi, pembelahan
sel dan diferensiasi. Pembentukan kalus ditentukan sumber eksplan, komposisi
nutrisi pada medium dan faktor lingkungan. Eksplan yang berasal dari jaringan
meristem berkembang lebih cepat disbanding jaringan dari sel-sel berdinding
tipis dan mengandung lignin. Untuk memlihara kalus, maka perlu dilakukan sub
kultur secara berkala, misalnya setiap 30 hari (Yuwono, 2006).
Kultur kalus bermanfaat untuk mempelajari
beberapa aspek dalam metabolism tumbuhan dan diferensiasinya. Mislanya (1)
mempelajari aspek nutrisi tanaman, (2) diferensiasi dan morfogenesis sel dan
organ tanaman (3) variasi somaklonal, (4) tranformasi genetic menggunakan
teknik biolistik (5) produksi metabolit sekunder dan regulasinya (Sahidah,
2009).
2.4 Tempat kultivasi dan media yang
digunakan
Kultur in-vitro tanaman memerlukan beberapa
komponen utama, yaitu : (1) bahan awal (starting materials), (2) medium yang
sesuai, (3) tempat kultivasi. Bahan awal yang dapat digunakan untuk kultur in-vitro
tanaman bermacam-macam, antara lain : batang, daun, tunas apical dan axilari
(apical and axillary buds), petiole, anther, pollen, petal, ovule, akar dan
lain-lain. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan awal kultur in-vitro
disebut sebagai eksplan (Yuwono, 2006).
Kultur in vitro tanaman dapat dilakukan
dengan menggunakan dua macam medium yaitu medium padat atau medium cair.
Kultivasi sel atau jaringan secara in-vitro secara prinsip dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai macam wadah, mulai dari tabung reaksi, tabung
Erlenmeyer, bahkan botol sederhana. Hal yang paling penting dalam pemilihan
wadah untuk kultur in vitro adalah kemudahan untuk menjaga sterilitasnya selama
perbanyakan sel atau jaringan. Jika menggunakan kultivasi pada medium cair dan
perlu penggojokan maka sebaiknya digunakan wadah yang memungkinkan untuk
ditempatkan secara mudah dan aman pada alat penggojok. Oleh karena itu tabung
Erlenmeyer merupakan wadah yang ideal untuk kultur sel menggunakan medium cair
(Yuwono, 2006).
Adapun medium yang digunakan untuk kultur in
vitro tanaman dapat berupa medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk
menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membnetuk tanaman yang lengkap
(disebut sebagai planlet), sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk
kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama, yaitu senyawa
organic, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan suplemen organic (Yuwono, 2006).
Senyawa anorganik terdiri atas unsure-unsur
makro dan mikro. Pada umumnya medium mengandung nitrat dan potassium pada
konsentrasi masing-masing 25mM. ammonium merupakan senyawa esensial untuk
hamper semua kultur tetapi konsentrasi yang diperlukan lebih rendah disbanding
dengan nitrat. Konsentrasi klasium, magnesium dan sulfat yang diperlukan
sekitar 1-3 mM. unsure-unsur mikro yang diperlukan antara lain iodine (I),
boron (B), mangan (Mg), zine (Zn), molybdenum (Mo), tembaga (Cu), kobalt (Co)
dan besi (Fe) (Yuwono, 2006).
Adapun sumber karbon yang digunakan pada
kultur kalus dapat berupa glukosa, fruktosa, maltose dan sukrosa dengan
konsentrasi sekitar 2-4%, tetapi sukrosa merupakan sumber karbon yang banyak
digunakan dalam banyak system kultur (Yuwono, 2006).
0 comments:
Post a Comment